Barabudur atau Borobudur


Selamat datang di Borobudur, salah satu bangunan suci agama Buddha sebagai situs Warisan Budaya Dunia. Kemegahan dan keindahan Borobudur mempunyai nilai sejarah tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah menetapkan Chandi Borobudur sebagai objek wisata utama, dan juga tujuan wisata prioritas bagi pengunjung nusantara maupun mancanegara.

Chandi Borobudur menarik antusiasme yang luar biasa untuk mengunjungi dan mendalami beberapa sumber narasi dalam wisata tematik, dengan tujuan untuk mengenal lebih dekat sejarah, arsitektur, dan seni rupa bangunan ini.

Pemandu wisata yang ramah akan menemani dalam kesempatan menarik ini, memberikan narasi dan penjelasan sebagai wujud apresiasi atas kajian dan partisipasi dalam menjaga, melindungi dan melestarikan warisan budaya leluhur.

Borobudur sebagai bangunan suci merupakan candi Budha terbesar di dunia yang ada di Indonesia. Banyak ahli sejarah yang mengemukakan teori tentang awal mula sejarah peradaban budaya Jawa kuno dan awal mula dibangunnya Borobudur, khususnya pada masa Hindu dan Budha.

Chandi Borobudur
Situs Warisan Budaya Dunia, candi Buddha terbesar didunia. Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Kebudayaan India yang masuk ke Indonesia memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan beragama dan melatarbelakangi keberadaan kerajaan-kerajaan yang berkuasa di Pulau Jawa pada masa itu.

Barabudur atau Borobudur

Menurut cerita, pernah dikatakan bahwa Pulau Jawa terapung, terombang-ambing dan terombang-ambing di lautan, harus dipaku ke tengah bumi sebelum bisa dihuni. Ceritanya paku besar menjadi sebuah bukit bernama Tidar, dan sekitar lima belas kilometer ke arah selatan monumen luar biasa Chandi Borobudur dibangun.

Daerah sekitar 'Paku Jawa', yang lebih dikenal dengan 'Dataran Kedu', merupakan pusat geografis pulau tersebut. Kesuburan tanah yang ekstrem, masyarakatnya yang sangat ramah dan rajin, menjelaskan mengapa kawasan ini sering disebut 'Taman Jawa'.

Borobudur atau disebut dengan nama Barabudur, adalah candi suci umat Buddha. Menyebutkan nama candi Borobudur, berasal dari dua kata yaitu kata 'bara' berasal dari kata 'biara' yang berarti tempat pemujaan bagi umat Buddha atau kuil, dan kata 'budur' berasal dari bahasa Bali 'beduhur' yang berarti 'di atas' atau 'bukit'. Maka makna kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi Bara Budur, karena pergeseran bunyi menjadi Borobudur, yang artinya candi atau biara di atas bukit.

Nama borobudur berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur".
Kata “bara” berasal dari kata “vihara”, dalam bahasa Sanskerta berarti “candi”.
Kata “beduhur” artinya ialah "tinggi", dalam bahasa Bali yang berarti"di atas".

Borobudur adalah candi Buddha Mahayana yang terdiri dari sembilan teras bertingkat, enam teras berbentuk bujur sangkar dan tiga teras berbentuk lingkaran, dan serta terdapat stupa terbesar yang berada ditengah, yang dikelilingi oleh 72 stupa berterawang, dan dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha.

Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa kejayaan pemerintahan Dinasti Sailendra. Bangunan yang megah ini dirancang dengan arsitektur Buddha Jawa, yang menggabungkan budaya asli Indonesia yaitu pemujaan leluhur dan konsep agama Buddha untuk mencapai Nirvana.

Candi Borobudur merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan tertinggi sesuai dengan ajaran Buddha.

Para peziarah, masuk melalui sisi timur mulai ritual, berjalan searah jarum jam, naik ke undakan melalui tiga tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kamadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Ketiga tingkatan itu ialah Kamadhatu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Para peziarah melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan lebih dari 1.460 panel relief yang terukir indah pada dinding dan pagar langkan.


Menurut sejarah, Chandi Borobudur ditinggalkan pada sekitar abad ke-14, dan ditemukan kembali pertama kali oleh Sir Thomas Stamfort Rafles, yang menjabat sebagai Gubernur Jendral Inggris atas Jawa. Sejarah menyebutkan keberadaan awal mula pembangunan Chandi Borobudur sebagai bangunan suci umat Budha, Borobudur digunakan sebagai tempat peribadatan, pemujaan dan prosesi keagamaan dengan tujuan bagi pemeluk agama Budha untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi adalah nirwana.

Chandi Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemulihan, pemugaran yang paling besar digelar pada kurun 1973 hingga 1983 atas upaya kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.

Sejarah Awal Borobudur

Tidak ditemukan dokumen atau bukti tertulis yang menjelaskan secara rinci siapa yang membangun Chandi Borobudur dan apa kegunaannya. Bangunan ini diperkirakan dibangun oleh Samaratungga pada masa Wangsa Sailendra sekitar tahun 800 Masehi.

Sebagian besar sejarah menjelaskan tentang prasasti Jawa Kuno yang telah ditemukan, umumnya digunakan sebagai penjelasan sejarah dan narasi keberadaan suatu bangunan atau candi kuno. Menurut sejarah, keberadaan Borobudur disebutkan dalam prasasti Karangtengah tahun 824 M dan prasasti Sri Kahulunan tahun 842 M.

Prasasti Sri Kahulunan

Salah satu prasasti tentang keberadaan Borobudur, sebagai bangunan suci, merupakan tempat untuk pemujaan bagi penganut agama Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arlisguide. Foto arisguide.

Chandi Borobudur disebutkan dalam prasasti Karangtengah atau Kayuwungunan. Prasasti ini berangka tahun 824 M, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat sejarah, bahwa bagian pertama prasasti tersebut berbahasa Sansekerta, berisi tentang Samaratungga dan menyebutkan putrinya Pramodawardhani yang telah berjasa dalam membangun candi Budha tersebut. Prasasti tersebut juga memuat harapan agar mereka yang telah berkontribusi dalam pendirian vihara Budha akan mendapat imbalan.

Pada prasasti bagian kedua, memuat penetapan hibah berupa sejumlah sima atau sawah yang diperuntukkan bagi kelangsungan bangunan suci beserta rincian tanahnya. Bagian penutup prasasti ini telah hilang sehingga kata-kata terakhirnya tidak banyak diketahui.

Menurut De Casparis, menjelaskan tentang patung yang tak lain adalah patung Raja Indra yang wafat dan menguburkan abunya di kuil yang khusus diperuntukkan baginya. Raja Indra merupakan raja dari dinasti Sailendra yang mengeluarkan prasasti Kelurak pada tahun 782 Masehi.

Menurut De Casparis, prasasti Kayumwungan dimaksudkan untuk memperingati berdirinya dan dibangunnya beberapa candi seperti Borobudur, Pawon dan Mendut oleh Samaratungga.

Chandi Borobudur disebutkan dalam prasasti Tri Tepusan atau disebut juga Sri Kahulunan, bertanggal 842 Masehi. Menurut penjelasan dalam Prasasti Tri Tepusan/Sri Kahulunan disebutkan bahwa Sri Kahulunan adalah Pramodawardhani yang sebenarnya telah berjasa dalam menyediakan dan menghibahkan tanah perdikan untuk pemeliharaan bangunan suci bernama Kamul ni Bhumi Sambhara atau yang artinya melambangkan tempat berkumpul untuk segala keutamaan bagi umat Budha yaitu bangunan suci yang berlantai atau bertingkat 10 yang secara tidak langsung menyebut Borobudur.

Prasasti Tri Tepusan merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Kahulunan yang menurut De Casparis diyakini merupakan penyebutan nama Pramodawardhani, yaitu putri Samaratungga yang disebutkan secara samar-samar dalam prasasti Karangtengah. Dalam prasasti ini Pramodawardhani bergelar Sri Kahulunan, pendapat tersebut menurut Soekmono, Poesponegoro dan Notosusanto.

Prasasti Tri Tepusan berisi apresiasi dan penyebutan desa Tri i Tpusan sebagai sima atau wilayah atas nama suatu tempat bernama Kamulan di Bhumisambhara. Prasasti ini juga menyebutkan perintah Sri Kahulunan untuk menentukan batas-batas tanah yang menjadi sima.

Sejarah Borobudur

Chandi Borobudur sebagai karya masa lalu merupakan bangunan peninggalan kerajaan Mataram kuno yang dibangun oleh Samaratungga pada masa pemerintahan dinasti Sailendra sekitar tahun 782 – 812 Masehi. Candi ini merupakan bangunan suci yang berlatar belakang agama Budha Mahayana, sebagai bangunan tempat peribadatan dan pemujaan bagi umat Buddha.

Disebutkan seperti jenis tulisan/aksara yang tertulis pada dinding kaki tersembunyi yang terletak di sebelah tenggara, yang terpahat pada salah satu relief Karmawibhangga dengan perbandingan jenis tulisan/aksara yang umumnya digunakan pada prasasti kerajaan pada abad ke-8 dan ke-9.

Aksara/tulisan yang tertulis pada prasasti

Perbandingan antara salah satu jenis aksara/tulisan yang tertulis di Relief Karmawibhangga dengan yang tertulis pada prasasti-prasasti kerajaan abad ke–8 dan ke–9. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Berdasarkan Prasasti Canggal, pada tahun 732 M, raja agama Siwa Sanjaya telah memerintahkan pembangunan bangunan suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung Wukir, terletak hanya 10 km sebelah timur Borobudur. Candi Budha Borobudur dibangun hampir bersamaan dengan candi-candi di Dataran Prambanan, namun Borobudur diperkirakan selesai sekitar tahun 825 M, yakni dua puluh lima tahun lebih awal sebelum pembangunan candi Siwa Prambanan dimulai pada tahun 850 M.

Menjelaskan pembangunan candi-candi Budha dalam hal ini termasuk Borobudur, sebenarnya pada saat itu dimungkinkan karena pewaris Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat Budha untuk membangun bangunan suci guna menunjukkan rasa hormatnya, sehingga Panangkaran menghibahkan Desa Kalasan kepada Sangha (masyarakat Budha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara yang disebutkan dalam Prasasti Kalasan tahun 778 Masehi.

Hal ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa zaman dahulu, agama tidak pernah menjadi isu yang dapat menimbulkan konflik, misalnya saja raja-raja yang beragama Hindu dapat mendukung dan mendanai pembangunan candi Budha, begitu pula sebaliknya. Namun diduga terjadi persaingan antara dua dinasti kerajaan saat itu, yakni Dinasti Syailendra yang menganut agama Budha dan Dinasti Sanjaya yang memuja Siwa. Menurut sejarah selanjutnya, Dinasti Sanjaya memenangkan pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.

Kerancuan pun muncul mengenai Candi Lara Jonggrang di Prambanan yang diyakini dibangun oleh Rakai Pikatan sebagai jawaban Dinasti Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik Dinasti Syailendra, namun banyak pihak yang meyakini adanya suasana toleransi dan kebersamaan damai antara kedua dinasti ini yaitu Wangsa Sailendra juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.

Chandi Borobudur

Chandi Borobudur atau Barabudur merupakan candi Buddha Mahayana yang dibangun pada abad ke-9, terdiri dari sembilan teras bertingkat, enam teras persegi, dan tiga teras melingkar, di atasnya terdapat kubah tengah, dikelilingi oleh 72 stupa dan dihiasi 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur

Chandi Borobudur telah menjadi simbol kuat bagi Indonesia, yakni sebagai saksi kejayaan masa lalu. Prestasi estetis dan kepiawaian teknik arsitektur yang ditampilkan Borobudur serta ukurannya yang luar biasa, merupakan bukti tentang kemegahan masa lalu, dan telah menginspirasi kebanggaan bangsa Indonesia.

Chandi Borobudur merupakan bangunan peninggalan Kerajaan Mataram yang memerintah Pulau Jawa pada abad VIII – X Masehi, yang dibangun oleh Samaratungga pada masa pemerintahan dinasti Syailendra. Borobudur adalah bangunan suci yang berlatar belakang agama Buddha Mahayana, sebagai bangunan tempat untuk beribadah dan pemujaan bagi umat Budha.

Menjelaskan prasasti yang ditemukan, umumnya digunakan sebagai penjelasan sejarah dan narasi keberadaan suatu bangunan atau candi kuno. Terdapat jenis aksara atau tulisan yang terpahat pada bagian kaki tersembunyi salah satu relief Karmawibhangga di bagian tenggara, menyerupai aksara atau tulisan yang biasa digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.

Sejarah Borobudur diketahui dari prasasti Karangtengah/Kayuwungunan dan Tri Tepusan/Sri Kahulunan. Pembangunan Candi Borobudur membutuhkan waktu sekitar 75 – 100 tahun, dan bangunan suci ini selesai dibangun pada masa pemerintahan Raja Samaratungga pada tahun 824 Masehi.

Candi Budha Borobudur dibangun hampir bersamaan dengan candi-candi yang ada di Dataran Prambanan, pembangunan Borobudur diperkirakan selesai sekitar tahun 825 M, lebih awal sebelum pembangunan candi Siwa Prambanan dimulai pada tahun 850 M. Periode waktu ini bertepatan dengan periode antara tahun 760 hingga 830 M, masa puncak kejayaan Dinasti Syailendra di Jawa Tengah yang saat itu dipengaruhi oleh Kerajaan Sriwijaya.

Arca Budha didalam stupa terbuka Borobudur

adalah candi Borobudur, berasal dari kata 'biara - bedudur' yang kemudian berubah menjadi Borobudur, candi Buddha Mahayana berbentuk piramida berundak yang bagian atas berbentuk stupa yang dibangun tahun 824 Masehi pada masa kejayaan pemerintahan wangsa Syailendra. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur

adalah candi Borobudur, berasal dari kata 'biara - bedudur' yang kemudian berubah menjadi Borobudur, candi Buddha Mahayana berbentuk piramida berundak yang bagian atas berbentuk stupa yang dibangun tahun 824 Masehi pada masa kejayaan pemerintahan wangsa Syailendra. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur merupakan candi Budha Mahayana yang terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar dan tiga teras lingkaran, serta terdapat stupa terbesar yang berada ditengah, yang dikelilingi oleh 72 stupa berterawang, dan dihiasi dengan 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha. Borobudur dirancang dengan bentuk arsitektur Buddha Jawa, perpaduan budaya asli Indonesia pemujaan leluhur dan konsep Buddha untuk mencapai Nirvana.

Arca Budha Borobudur

Candi Borobudur dihiasi dengan 504 arca Buddha, dirancang dengan bentuk arsitektur Buddha Jawa, perpaduan budaya pemujaan leluhur asli Indonesia dan konsep Buddha untuk mencapai Nirvana. Sumber: Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Borobudur atau disebut Barabudur, merupakan candi Buddha Mahayana, nama Borobudur berasal dari dua kata, yaitu 'bara' yang berasal dari kata 'biara' yang berarti candi atau tempat peribadatan bagi umat Buddha, dan kata 'budur' yang berasal dari kata Bali, 'beduhur' yang artinya 'di atas' atau 'bukit'. Maka arti kata 'biara dan beduhur' berubah menjadi Bara Budur, karena bunyinya bergeser menjadi Borobudur yang berarti candi atau biara di atas bukit.

Pemandangan Borobudur dargi bukit Dagi

Keindahan Borobudur pemandangan dari bukit Dagi. Candi Budha yang dibangun diatas bukit di tengah kehijauan alam perbukitan Menoreh di dataran Kedu. Diduga dulu di sekeliling Borobudur adalah danau purba. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Nama Borobudur

Menyebutkan bangunan-bangunan kuno yang berasal dari periode Jawa Kuno dalam narasi sejarah Indonesia yang umumnya disebut candi. Mula-mula mereka tidak hanya menyebutkan nama bangunan candi saja, namun juga struktur bangunan serta benda-benda lain seperti bentuk gapura, pintu gerbang dan tempat pemandian bangunan itu berada.

Dalam penjelasan sebagian besar candi di Jawa, pada dasarnya nama aslinya tidak banyak diketahui. Umumnya sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa sekitar tidak yakin atau bahkan tidak mengetahui sama sekali tentang keberadaannya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak peninggalan budaya yang ditemukan kembali, mungkin bangunan suci atau candi hanya disebutkan oleh masyarakat dari desa sekitar.

Namun ada pula yang menjelaskan bahwa mereka tetap mempertahankan namanya, selama ini desa-desa tersebut diberi nama sesuai dengan ditemukannya candi tersebut. Boleh diucapkan, namun sulit diketahui apakah nama Chandi Borobudur dinarasikan dan berasal dari desa tempat bangunan tersebut berada.

Dalam sejarah Jawa kuno pada abad ke-18 digambarkan adanya sebuah bukit bernama Borobudur. Saat itu Sir Thomas Stamford Raffles, orang yang menemukan candi tersebut datang untuk melakukan suatu penelitiannya. Ia menceritakan pada tahun 1814 tentang keberadaan candi atau monumen bernama Borobudur di desa Bumisegoro, oleh penduduk setempat. Borobudur, rupanya itulah nama asli monumen tersebut. Namun belum ditemukan dokumen tertulis mengenai namanya.

Salah satu naskah Jawa kuno berangka tahun 1365 M, adalah Nagarakrtagama yang disusun oleh Mpu Prapanca, menyebut kata 'Budur' dalam namanya sebagai tempat suci aliran Budha, Vajradhara. Bukan tidak mungkin nama 'Budur' dikaitkan dengan Borobudur, namun karena belum ada informasi lebih lanjut, hingga kini identifikasi pasti sulit dilakukan. Desa-desa terdekat selalu menggunakan kata 'Bore', mungkin merupakan bagian pertama dari nama asli monumen tersebut.

Faktanya, penjelasan De Casparis sudah banyak yang menjelaskan dan tidak ada lagi solusi yang dikemukakan. Moens berpendapat bahwa, dalam analogi Bharasiwa India Selatan yang menunjukkan penganut Dewa Hindu Siva, monumennya diasosiasikan dengan 'Bharabuddha' atau penegak Buddha yang bersemangat. Nama 'Borobudur' kemudian menjadi kependekan dari 'Bharabuddha' dalam bahasa Tamil, ditambah kata 'ur' yang berarti 'kota', sehingga berarti 'Kota Para Penegak Budha'.

Namun kata majemuk 'Boro Budur' sulit dijelaskan, namun sebaliknya sebagaimana makna 'Budur adalah tempat suci di desa Boro' penafsirannya akan berbeda dengan kaidah dalam bahasa Jawa yang mengharuskan kata tersebut Budur Boro bukannya Boro Budur. Raffles mendapat usulan tentang kata 'Budur', mungkin sesuai dengan kata Jawa kuno 'Buda', sehingga Borobudur berarti 'Boro kuno'. Ia juga memberikan hipotesis lain tentang Boro yang berarti 'besar', dan Budur adalah 'Buddha', yang disebut 'Buddha Besar'.

Sebenarnya, 'Boro' seharusnya berarti lebih 'terhormat', yang berasal dari kata Jawa Kuno 'Bhara', sebuah awalan yang menakutkan, jadi 'tempat suci Budha yang dihormati' akan lebih tepat. Kata 'Boro' mungkin juga merupakan kata Jawa Kuno 'Bhara' yang berarti 'banyak', sehingga menafsirkan 'Borobudur' sebagai tempat suci 'banyak Buddha' juga mengandung klaim yang sama.

Penafsiran yang lebih masuk akal dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Ia mengira kata 'boro' merupakan singkatan dari kata 'vihara' yang berarti 'biara'. Borobudur kemudian berarti 'Biara Budur'. Disebutkan fondasi biara yang digali kemudian selama penggalian arkeologi yang dilakukan di dataran tinggi sebelah barat monumen pada tahun 1952. Karena nama 'Budur' disebutkan dalam Nagarakrtagama, interpretasi yang diberikan oleh Poerbatjaraka mungkin benar. Anggapan demikian berarti vihara merupakan bangunan suci.

Semua penjelasan di atas didasarkan pada penafsiran kata penyusun 'Boro' dan 'Budur'. Kemudian De Casparis mencoba menelusuri kedua kata tersebut kembali ke asal usulnya. Ia mencontohkan, nama 'Bhumisambharabhudhara' yang berarti tempat suci pemujaan leluhur, ditemukan pada dua prasasti batu yang berasal dari tahun 842 Masehi. Ia menyimpulkan bahwa tempat suci Bhumisambharabhudhara tidak lain adalah Borobudur kita, dan perubahan nama tersebut kini terjadi melalui penyederhanaan normal dari apa yang terjadi dalam bahasa lisan.

Nama Bore-Budur kemudian ditulis BoroBudur kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa yang paling dekat, yaitu desa Bore (Boro); Kebanyakan candi diberi nama sesuai desa tempat candi berdiri. Raffles menduga istilah 'Budur' ada kaitannya dengan istilah Jawa Buda yang berarti "kuno", artinya "Boro kuno".

Para arkeolog berpendapat bahwa nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung. R.M. Ng. Poerbatjaraka menerjemahkan boro sebagai 'biara'. Pendapat ini didasari nama tempat diawali dengan kata boro yaitu Boro kidul yang berarti 'Biara di Selatan', kemudian Stutterheim menambahkan pada 'Boro sidengan'. Boro-kidul dan Boro sidengan keduanya cukup jauh dari Borobudur.

Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara yang berarti "gunung" (bhudara) yang di lerengnya berundak-undak. Selain itu etimologi rakyat menyebut kata borobudur berasal dari “Buddha”, pergeseran bunyi menjadi borobudur.

Nama Borobudur berasal dari dua kata “bara” dan “beduhur”. Kata bara berasal dari kata vihara, dimana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks pura atau vihara dan beduhur berarti "tinggi", atau dalam bahasa Bali berarti "di atas". Adalah vihara atau asrama yang terletak di dataran tinggi atau bukit.

Sejarawan J.G. de Casparis menjelaskan nama Borobudur adalah tempat ibadah. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, pendiri Borobudur ialah raja Mataram dari dinasti Syailendra, Samaratungga tahun 824 Masehi. Bangunan ini selesai pada masa putrinya Pramudawardhani. Prasasti Karangtengah menyebutkan pemberian tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Sri Kahulunan (Pramudawardhani) untuk Kamulan yang disebut Bhumisambhara. Istilah Kamulan berasal dari kata mula berarti tempat asal, bangunan suci untuk menghormati leluhur dinasti Sailendra. Casparis memperkirakan Bhumi Sambhara Bhudhāra dalam bahasa Sansekerta yang berarti "Bukit kumpulan kebajikan sepuluh tingkat boddhisattva" adalah nama asli Borobudur.

Dahulu pulau yang disebut terpencil tak berpenghuni adalah pulau jawa, konon pulau tersebut terapung di lautan sehingga harus ditopang dan dipaku ke tengah bumi sebelum bisa dihuni. Paku besar yang menjadi bukit kecil disebut Bukit Tidar terletak di sebelah utara. Dan letaknya hanya sekitar lima belas kilometer ke 0 selatan Bukit Tidar merupakan tempat dibangunnya Candi Borobudur.

Pemandangan masyarakat pedesaan Borobudur

Keindahan pemandangan lansekap pedesaan Jawa Kuno, cara hidup di tempat sawah Borobudur. Sumber: Balai Konservasi Borobudur. Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Lingkungan Borobudur

Konon kawasan sekitar 'Paku Jawa' yang lebih dikenal dengan sebutan 'Dataran Kedu' merupakan kawasan yang menjadi pusat geografis pulau ini. Terkenal dengan kesuburan tanahnya yang ekstrim, dan masyarakatnya yang sangat rajin, itulah sebabnya pulau ini sering disebut dengan “Taman Jawa”.

Dataran Kedu yang asri dan hijau, kawasan yang hampir seluruh wilayahnya dikelilingi deretan pegunungan dan perbukitan, seakan memberikan keasrian dan keindahan pemandangan alam. Terdapat dua pasang gunung berapi yang menjulang tinggi ke angkasa, yaitu Gunung Merapi dan Merbabu di timur laut, serta Gunung Sumbing dan Sindoro di barat laut.

Melihat ke barat dan selatan dataran ini dibatasi oleh rangkaian perbukitan panjang yang membentuk kaki bukit berbatu kokoh yang bentuknya tak terhingga. Oleh karena itu, menjelaskan rangkaian perbukitan Menoreh, kata menoreh berarti menara.

Sebagian besar bangunan suci di dataran Kedu didirikan di sini. Tempat suci Hindu dan Budha, boleh dikatakan, berdesakan dalam radius kurang dari tiga kilometer dari pertemuan dua sungai Kedu. Dari barat hingga timur, bangunan suci utama umat Buddha di kawasan ini adalah: Chandi Borobudur, Chandi Pawon, Chandi Mendut, dan kompleks Chandi Ngawen yang terdiri dari lima bangunan.

Tiga cagar alam pertama diasumsikan telah membentuk satu kompleks juga; Meski berdiri dengan jarak yang cukup jauh satu sama lain, garis lurus yang ditarik dari Chandi Borobudur ke Chandi Mendut melalui Chandi Pawon menunjukkan kesatuan triad. Namun tata letak seperti ini tidak ditemukan di Borobudur. Chandi Mendut berjarak sekitar tiga kilometer dari Chandi Borobudur, sedangkan Chandi Pawon berjarak sekitar setengahnya.

Menurut tradisi lisan, tiga serangkai tersebut pernah dihubungkan melalui jalur prosesi beraspal, diapit oleh langkan yang dihias dengan indah. Beberapa batu pahatan yang ditemukan di sebuah lapangan sebelah timur Desa Borobudur beberapa dekade lalu diduga merupakan sisa-sisa trotoar. Komposisi triad yang luar biasa ini menimbulkan banyak spekulasi mengenai hubungan antara Chandi Borobudur, Chandi Pawon, dan Chandi Mendut.

Chandi Borobudur tidak memiliki ruang batin, tidak ada tempat orang beribadah. Kemungkinan besar itu adalah tempat ziarah, dimana umat Buddha bisa mencari Kebijaksanaan Tertinggi. Lorong-lorong di sekitar bangunan, yang berturut-turut naik ke teras paling atas, jelas dimaksudkan untuk mengelilingi ritual tersebut. Dipandu oleh narasi relief, peziarah berjalan dari teras satu ke teras lainnya dalam renungan hening. Chandi Mendut, sebaliknya, tampak seperti tempat ibadah.

Chandi Pawon yang sangat kecil juga memiliki ruang dalam, tetapi tidak mengungkapkan dewa apa yang mungkin menjadi objek pemujaan. Anggapan bahwa peziarah harus melewati Chandi Pawon dalam perjalanannya dari Chandi Mendut ke Chandi Borobudur melalui jalur prosesi yang beraspal mungkin memberi kesan bahwa Chandi Pawon adalah semacam perhentian dalam perjalanan jauh; Setelah disucikan melalui upacara ibadah wajib di Chandi Mendut, Chandi Pawon tempat untuk berhenti sejenak dan merenung sebelum melanjutkan ziarah ke Chandi Borobudur dimana beberapa rangkaian perjalanan telah menantinya.

Borobudur, Pawon dan Mendut satu garis lurus

Borobudur, Pawon dan Mendut merupakan aksis koridor imajiner, jalan penghubung tiga candi. Chandi Mendut berjarak sekitar tiga kilometer dari Chandi Borobudur, sedangkan Chandi Pawon berjarak setengahnya. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Tiga Candi Buddha

Menjelaskan hubungan Candi Borobudur sebagai candi induk dengan ketiga candi Budha (Pawon, Mendut, dan Ngawen), tidak lepas dari beberapa hal seperti; Ketiga candi tersebut terhubung sepanjang garis koridor imajiner, mempunyai arah sudut yang sama menghadap Borobudur dan mempunyai beberapa kesamaan unsur arsitektur, seperti arca singa, pelipit bergerigi, relief jataka, dan arca Budha.

Candi Pawon
Nama Candi Pawon tidak banyak disebutkan dan belum diketahui secara pasti asal usulnya. Menurut seorang epigrafer bernama J.G. de Casparis menafsirkan asal usul kata Pawon berasal dari bahasa Jawa yaitu awu yang berarti 'abu'. Kata abu mempunyai awalan pa- dan akhiran-an, sehingga maknanya menunjukkan suatu tempat.

Candi Pawon

Borobudur, Pawon dan Mendut merupakan Koridor imajiner, jalan penghubung tiga candi. Chandi Pawon berjarak 1.5 kilometer dari Borobudur. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Dalam bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti 'dapur', namun de Casparis mengartikannya sebagai 'perabuan' atau tempat abu. Penduduk setempat juga menyebut Candi Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata Sansekerta vajra yang berarti 'guntur' dan anala yang berarti 'api'.
Menurut J.G. de Casparis, Candi Pawon merupakan tempat bersemayamnya Raja Indra yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 782-812 Masehi. Melihat ke dalam bilik atau ruangan candi ini, tidak ditemukan lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasi lebih lanjut kegunaan candi ini.
Satu hal menarik dari Candi Pawon yang masih bisa disaksikan adalah dekorasinya. Dinding luar candi dihiasi relief pohon hayati yaitu kalpataru yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari yaitu makhluk yang berwujud setengah manusia, setengah burung/berkepala manusia, dan berbadan burung.

Candi Mendut
Dibangun sekitar abad VIII Masehi, berdasarkan prasasti Karangtengah, pada masa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Disebutkan dalam prasasti Karangtengah tahun 824 M, Raja Indra membangun candi bernama Wenuwana yang berarti hutan bambu dan oleh seorang arkeolog Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dikaitkan dengan bangunan Candi Mendut.
Candi Mendut dibangun dengan batu bata yang dilapisi batu alam. Bangunan ini terletak di dataran tinggi sehingga terlihat lebih elegan dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap barat daya. Di atas dataran terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya setinggi tiga lantai dan dihiasi stupa-stupa kecil.

Chandi Mendut

Borobudur, Pawon dan Mendut merupakan aksis koridor imajiner, jalan penghubung tiga candi. Chandi Mendut berjarak 3 kilometer dari Borobudur. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Terdapat arca di garbhaghriya atau ruangan, tiga arca utama adalah arca Awalokitecwara, Sakyamuni dan Wajrapani. Relief pada Candi Mendut menggambarkan Jataka yaitu cerita tentang binatang. Hewan-hewan yang tergambar pada panel relief merupakan penjelmaan para Bodhisattva yang turun ke bumi dan mengajarkan moralitas kepada manusia.

Candi Ngawen
Candi Ngawen berlatar belakang agama Budha dengan ditemukannya arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa dan arca Dhyani Buddha Amithaba. Candi ini didirikan sekitar abad IX – X Masehi. Bentuk bangunan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan candi lain yaitu hiasan patung singa di keempat sudutnya. Jika diperhatikan candi ini memiliki stupa dan teras (undakan) yang menjadi simbol dalam candi Budha. Menurut perkiraan, candi ini dibangun oleh penguasa Kerajaan Mataram Kuno dari dinasti Sailendra pada abad ke-8.

Menurut Soekmono, keberadaan Candi Ngawen disebutkan dalam prasasti Karangtengah tahun 824 M, yaitu Venuvana dalam bahasa Sansekerta yang berarti “hutan bambu”. Candi ini terdiri dari lima bangunan candi kecil, dua di antaranya mempunyai bentuk berbeda dan dihiasi patung singa di keempat sudutnya. Patung Buddha tanpa kepala dalam posisi duduk Ratnasambawa muncul di salah satu candi lainnya.
Terdapat relief pada sisi candi antara lain ukiran Kinnara, Kinnari, dan kala-makara. Posisi hiasan Kinnara Kinnari mengapit Kalpataru. Kinnara dan Kinnari menggambarkan makhluk surgawi yang berwujud setengah manusia dan setengah burung. Sedangkan Kalpataru adalah pohon surgawi yang hidup sepanjang waktu, tempat bersandarnya segala harapan. Pohon ini digambarkan mempunyai dahan yang dimaknai sebagai untaian perhiasan yang indah, sehingga dijaga oleh makhluk surgawi seperti Kinara Kinari.

Chandi Ngawen

Borobudur, Pawon dan Mendut merupakan aksis koridor imajiner, jalan penghubung tiga candi. Chandi Ngawen berjarak 5 kilometer dari Borobudur berkaitan dengan latarbelakang candi Budha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Kelompok candi terdiri dari lima bangunan yang disusun berdampingan dari Utara ke Selatan. Dari kelima bangunan tersebut, hanya satu candi yang masih utuh yaitu candi ke-2 dari arah utara, sedangkan empat candi lainnya hanya tersisa bagian kaki candi.

Borobudur dilihat dari pelataran sudut barat laut dengan pemandangan perbukitan Menoreh di sebelah selatan. Selama berabad-abad bangunan suci ini terlupakan. Borobudur di tengah kehijauan alami dataran Kedu. Dahulu sekitar Borobudur diperkirakan merupakan sebuah danau purba.

Danau Borobudur
Kepercayaan masyarakat mengenai adanya jalur prosesi tidak sesuai dengan hipotesis yang dikemukakan Nieuwenkamp pada tahun 1931, bahwa dataran Kedu dulunya adalah danau besar. Dia berpendapat bahwa Chandi Borobudur awalnya melambangkan bunga teratai yang mengambang di permukaan danau, teratai dalam mitos tentang kelahiran calon Buddha yang akan datang.

Ide tentang bunga teratai ini didasari oleh penemuannya bahwa bentuk Borobudur menggambarkan bunga teratai, tiga teras atas berbentuk lingkaran melambangkan hamparan kelopak bunga teratai, sedangkan bangunan ini diposisikan di atas bukit sehingga memperlihatkan bunga teratai yang melayang di udara.

Ilustrasi danau Borobudur

Ilustrasi Arsitektur Borobudur menyerupai bunga teratai. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Buddha di Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang biasa ditemukan dalam kitab suci agama Buddha Mahayana, aliran Buddha yang menyebar ke Asia Timur. Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diperkirakan melambangkan kelopak bunga teratai.

Berbagai hiasan, baik hiasan maupun cerita yang terpahat pada arsitektur candi, bukan dipahat tanpa alasan, masing-masing komponen mempunyai karakter dengan fungsi yang berbeda-beda, namun saling terhubung untuk menggambarkan suatu jalan menuju Kebuddhaan, pencerahan dan pembebasan samsara.

Borobudur Ditinggalkan

Borobudur terbengkalai dan tersembunyi selama beberapa abad dan terkubur dalam lapisan tanah dan abu vulkanik, sehingga saat itu Borobudur berada di dalam sebuah bukit. Alasan sebenarnya mengapa bangunan ini terbengkalai dan ditinggalkan masih belum diketahui secara pasti kapan bangunan ini tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ziarah umat Buddha.

Menurut penuturan sejarah Jawa kuno, pada kurun waktu antara tahun 928 hingga 1006, Raja Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan Medang ke wilayah Jawa Timur setelah beberapa kali terjadi letusan gunung berapi. Namun belum dapat dipastikan apakah faktor inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, namun beberapa sumber menduga besar kemungkinan Borobudur mulai ditinggalkan pada masa ini. Letusan Gunung Merapi diduga menjadi penyebab utama ditinggalkannya Borobudur.

Chandi Borobudur mulai disebutkan sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca dalam bukunya Nagarakretagama yang ditulis pada masa kerajaan Majapahit yang menyebutkan adanya “Vihara di Budur”. Selain itu, Soekmono (1976) juga mengatakan bahwa candi ini ditinggalkan sama sekali sejak penduduk setempat masuk Islam pada abad ke-15. Candi Borobudur melalui cerita rakyat sebagai bukti kejayaan masa lalu telah menjadi kisah takhayul yang dikaitkan dengan kemalangan dan penderitaan.

Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan, meski ada pantangan yang melarang orang mengunjungi chandi ini. Sebagaimana disebutkan dalam buku Babad Tanah Jawi (Sejarah Jawa) dan Babad Mataram yang ditulis pada abad ke-18, disebutkan kisah sial dan musibah mengenai Borobudur pada tahun 1709 dan 1757.

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa pada masa Mataram Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya makhluk halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan atau musibah yang mungkin menimpa siapa pun yang datang dan mengunjungi situs ini. Meski secara ilmiah diduga, mungkin setelah situs ini terbengkalai dan ditumbuhi semak belukar, tempat ini menjadi sarang wabah penyakit.

Lapisan debu di teras stupa Borobudur

Kondisi teras-teras stupa Borobudur tertutup tanah dan debu vulkanik, keadaan batu-batu yang runtuh tidak terurus. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Penemuan Borobudur

Chandi Borobudur dikenal masyarakat dengan menyebutkan bangunan ini secara khusus sebagai candi kuno, berada didalam hutan dan tersembunyi. Perjalanan sejarah candi ini mulai tampak pada waktu Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Gubernur Jenderal, pada kurun waktu 1811 hingga 1816. Raffles memiliki ketertarikan terhadap sejarah Jawa dan benda-benda antik seni Jawa kuno, serta membuat catatan-catatan tentang sejarah kebudayaan Jawa pada saat itu.

Dalam kunjungan inspeksinya ke Semarang pada tahun 1814, sebagai seorang penjelajah, diberitahukan tentang suatu bangunan besar yang berada di dekat desa Bumisegoro. Kemudian karena ketidakhadirannya, memerintahkan H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan ini. Dalam beberapa bulan, Cornelius bersama 200 orang bekerja untuk  membersihkan bangunan Borobudur dari semak-semak dan lapisan tanah. Karena adanya ancaman longsor, pengerjaan tidak dapat dilanjutkan, kemudian apa yang dilakukan dalam pengerjaan dilaporkan kepada Raffles, termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Raffles berjasa menemukan kembali bangunan yang pernah hilang.

Hartmann, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu, melanjutkan pekerjaan Cornelius pada tahun 1835. Akhirnya seluruh bagian bangunan terlihat. Ketertarikannya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi. Hartmann tidak menulis laporan tentang aktivitasnya, sehingga beredar rumor bahwa ia telah menemukan patung Buddha di stupa utama. Pada tahun 1842, Hartmann menyelidiki stupa induk meskipun apa yang ditemukannya masih menjadi misteri karena bagian dalam stupa tersebut kosong.

Pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur Belanda di bidang teknik, mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief. JFG Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih detail terhadap monumen tersebut, yang diselesaikannya pada tahun 1859. Pemerintah berencana menerbitkan artikel berdasarkan penelitian Brumund disertai sketsa Wilsen, namun Brumund menolak bekerja sama.

Pemerintah Hindia Belanda kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, untuk menyusun monografi berdasarkan sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada tahun 1873, monografi pertama dan kajian lebih rinci tentang Borobudur diterbitkan, disusul edisi terjemahan dalam bahasa Prancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada tahun 1873 oleh engrafer Belanda Isidore van Kinsbergen.

Apresiasi terhadap situs ini tumbuh perlahan. Borobudur telah lama menjadi sumber cenderamata dan barang antik bagi para kolektor dan pemburu artefak. Kepala patung Budha menjadi bagian yang paling sering dicari. Itulah sebabnya kini banyak ditemukan patung Budha tanpa kepala di Borobudur. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran para kolektor barang antik dan museum di seluruh dunia.

Pada tahun 1882, kepala pemeriksa artefak budaya merekomendasikan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke museum karena kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang merajalela di monumen tersebut. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog, untuk melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap situs tersebut dan mempertimbangkan kondisi sebenarnya dari kompleks tersebut; Laporan tersebut menyatakan kekhawatiran tersebut berlebihan dan menyarankan agar bangunan tersebut dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk dipindahkan.

Beberapa bagian candi dicuri sebagai oleh-oleh, patung dan ukiran diburu oleh kolektor barang antik. Menurut sejarah yang tertulis, aksi penjarahan situs bersejarah ini mengakibatkan beberapa barang-barang telah hilang dari Borobudur. Pada tahun 1896, menyebutkan beberapa bagian dari bangunan ini yang berupa artefak yang telah hilang antara lain; lima buah arca Budha beserta 30 buah batu dengan relief, dua buah patung singa, beberapa buah batu berbentuk kala, tangga dan gapura, serta satu buah patung penjaga dwarapala yang pernah berdiri di Bukit Dagi, letaknya hanya beberapa ratus meter barat laut Borobudur.

Perhatian terhadap Candi Borobudur dimulai pada tahun 1885, ketika pemerhati bangunan ini yaitu Yzerman, seorang ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan dasar dari apa yang disebut dengan kaki tersembunyi. Dokumentasi fotografi yang memperlihatkan panel relief pada kaki yang tersembunyi dibuat pada periode 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda mengambil langkah untuk melestarikan monumen ini. Pada tahun 1900, pemerintah membentuk komisi yang terdiri dari tiga pejabat untuk meneliti monumen ini: Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, seorang insinyur konstruksi bangunan dari Belanda. Departemen Pekerjaan Umum.

Pada tahun 1902, komisi ini mengajukan usulan tiga langkah rencana pelestarian Candi Borobudur kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang ada harus segera diatasi dengan menata ulang sudut-sudut bangunan, membuang batu-batu yang membahayakan batu lain di sebelahnya, memperkuat langkan pertama, dan memulihkan beberapa relung, gapura, stupa, dan stupa induk. Kedua, memagari halaman candi, memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan pancuran. Ketiga, seluruh batuan yang lepas dan lepas harus disingkirkan, tugu dibersihkan hingga langkan pertama, batu-batu yang rusak disingkirkan, dan stupa induk direstorasi. Total biaya yang dibutuhkan saat itu diperkirakan sekitar 48.800 Gulden.

Melengkapi penanganan beberapa masalah yang ada di Borobudur, pada akhirnya terdapat gagasan untuk melakukan pemugaran. Pemugaran dilakukan antara tahun 1907 hingga 1911 dengan menggunakan prinsip anastylosis dan dipimpin oleh Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala Buddha dan panel batu yang hilang. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan sebuah stupa di puncaknya. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang bisa diperbaiki; ia mengajukan usul lagi yang disetujui dengan tambahan anggaran sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, bahkan ia dengan cermat merekonstruksi chattra (payung batu bertingkat tiga) yang memahkotai puncak Borobudur. Sekilas, Borobudur sudah pulih seperti semula. Namun keaslian rekonstruksi chattra dianggap tidak dapat diandalkan, sehingga Van Erp membongkar sendiri sebagian chattra tersebut. Kini mastaka atau puncak chattra Borobudur yang bertingkat tiga disimpan di Balai Konservasi Borobudur.

Karena keterbatasan anggaran, pemugaran ini hanya fokus pada pembersihan patung dan batu, Van Erp tidak menyelesaikan permasalahan drainase dan pengelolaan air. Dalam waktu 15 tahun, dinding galeri menjadi miring dan reliefnya menunjukkan retakan dan kerusakan. Van Erp menggunakan campuran beton yang menyebabkan terbentuknya kristal garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bangunan dan merusak batu candi. Hal ini menimbulkan masalah sehingga diperlukan renovasi lebih lanjut.

Restorasi secara kecil telah dilakukan sejak saat itu, namun tidak cukup untuk memberikan perlindungan menyeluruh. Pada akhir tahun 1960-an, pemerintah Indonesia mengajukan permintaan kepada masyarakat internasional untuk melakukan restorasi besar-besaran guna melindungi monumen ini. Pada tahun 1973, rencana induk pemugaran Borobudur dibuat. Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki monumen secara menyeluruh dalam sebuah proyek besar antara tahun 1975 dan 1982.

Pemugaran Candi Borobudur.
Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto screenshot arisguide.

Fondasinya diperkuat dan seluruh 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan membongkar kelima teras persegi dan memperbaiki sistem drainase dengan menyematkan saluran air ke dalam monumen. Filter dan lapisan kedap air serta penanaman pondasi beton pada monumen ini ditambahkan.

Proyek pemugaran Borobudur secara kolosal ini melibatkan sekitar 600 orang tenaga ahli untuk merestorasi monumen dan menghabiskan biaya total sejumlah 6.901.243 dolar AS. Setelah renovasi, kemudian UNESCO menambahkan dan memasukkan Borobudur ke dalam bagian daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.

Chandi Borobudur

Situs Warisan Budaya Dunia sejak tahun 1991, salah satu pemandangan Borobudur dari barat laut. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Menurut legenda, arsitek yang merancang candi Borobudur bernama Gunadharma, sedikit yang diketahui, namanya lebih banyak berdasarkan dongeng dan legenda Jawa, bukan berdasarkan prasasti sejarah. Legenda tentang arsitek Borobudur bernama Gunadharma dengan cerita rakyat tentang perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang yang sedang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan Gunadharma yang berubah menjadi perbukitan Menoreh.

Pemandangan stupa Borobudur dan bukit Menoreh

Keindahan Borobudur dengan legenda cerita Gunadharma dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan bahwa tubuh Gunadharma berubah menjadi jajaran perbukitan Menoreh. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Relief Cerita Borobudur

Keindahan seni ukir salah satu relief cerita Borobudur di dinding-dinding dan pagar langkan. Sumber: Balai Konservasi Borobudur. Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Bentuk seni gambar relief cerita Borobudur

Keindahan seni ukir salah satu relief cerita Borobudur di dinding-dinding dan pagar langkan. Sumber: Balai Konservasi Borobudur. Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Barabudur atau Borobudur
Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide.

Dalam narasi sejarah Borobudur disebutkan ukiran panil relif yang terpahat pada dinding kaki candi dalam teks Karmawibhangga, tentang persembahan alas kaki yang disebut dengan 'Upanat' kepada Brahmana.

Relief Cerita Borobudur

Salah satu relif dinding kaki candi dalam teks Karmawibhangga, tentang persembahan alas kaki dengan nama 'Upanat', alas kaki yang dipersembahkan kepada Brahmana, agar mendapatkan pahala dan kemakmuran dalam kehidupan. Sumber: Balai Konservasi Borobudur. Teknik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Menjelaskan bahwa 'Upanat' merupakan alas kaki yang digunakan pada saat mengunjungi teras Candi Borobudur. Kunjungan ini bertujuan untuk lebih mengenal Borobudur, mempelajari sejarahnya, mengikuti wisata tematik serta mengagumi kemegahan dan seni rupa monumen ini. Hal ini sebagai bentuk apresiasi dan mengenal Borobudur, serta berperan dalam menjaga dan melindungi situs warisan budaya dunia di Borobudur, Indonesia.

Arca Budha didalam stupa terbuka.

Chandi Borobudur atau Barabudur merupakan candi Buddha Mahayana yang dibangun pada abad ke-9, terdiri dari sembilan teras bertingkat, enam teras persegi, dan tiga teras melingkar, di atasnya terdapat kubah tengah, dikelilingi oleh 72 stupa dan dihiasi 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Chandi Borobudur or Barabudur
is a 9th–century Mahayana Buddhist temple, which consists of nine stacked platforms, six square and three circular, topped by a central dome, surrounded by 72 stupas and decorated with 2,672 relief panels and 504 Buddha statues. Source: Guidance Technique Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Baca narasi dan materi lengkap tentang Chandi Borobudur dengan berkunjung dan jadikan wisata Anda semakin menyenangkan, jelajahi lebih detail narasi tematik budaya Borobudur bersama Pamong Carita. Membaca menjadi lebih menyenangkan, menggali narasi lebih detail dan membaca dalam bahasa Inggris memang menyenangkan dan juga terkesan sangat menarik untuk diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dan fleksibel, dapatkan bacaan detail di Welcome to Borobudur Temple, the fabric of life in the Buddhist culture. Jelajahi, kagumi keindahan seni rupa dalam gambar dan foto di PHOTO IMAGE BOROBUDUR.

Borobudur adalah monumen terbesar di dunia. Sumber: Teknik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

arisguide
Sangat menyenangkan dalam perjalanan bait suci bersama saya.

Selamat Datang di Candi Borobudur
Candi Borobudur adalah candi Buddha Mahayana, dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan Wangsa Sailendra, dirancang dengan bentuk arsitektur Buddha Jawa, yang memadukan budaya asli Indonesia pemujaan leluhur dan konsep agama Buddha untuk mencapai Nirvana. Sumber: Tehnik Kepemanduan Chandi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Disebutkan bahwa Chandi Borobudur terletak tepat di atas bukit dan dibangun di tengah beberapa gunung dan perbukitan. Melihat ke arah barat terdapat Gunung Sundoro dan Gunung Sumbing. Di sebelah timur terdapat Gunung Merbabu dan Merapi. Melihat ke utara, kurang lebih 15 kilometer dari Borobudur terdapat bukit Tidar, dan di selatan dibatasi oleh perbukitan Menoreh. Borobudur terletak di pertemuan dua sungai yaitu Progo dan Elo yang terletak di sebelah timur Chandi Borobudur dan Chandi Pawon.

Arca Buddha
Terdapat 504 arca Budha dengan enam posisi tangan mudra, setiap mudra mewakili arti dan makna dalam filosofi Budha. Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Chandi Borobudur merupakan candi Buddha Mahayana yang terdiri dari sembilan teras berundak, enam teras persegi, dan tiga teras melingkar, serta terdapat stupa terbesar di tengahnya, yang dikelilingi oleh 72 stupa berlubang, serta dihiasi 2.672 panel relief dan 504 arca Buddha.

Mara menyerang Sidharta.
Salah satu panil relif Buddha, galeri pertama dinding utama diceritakan dalam teks Lalitavistara. Sumber: Tehnik Kepemanduan Candi Borobudur arisguide. Foto arisguide.

Candi Borobudur dibangun pada abad ke-9 pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra. Candi ini didesain dengan bentuk arsitektur Budha Jawa yang memadukan budaya pemujaan leluhur asli Indonesia dan konsep filosofi Budha untuk mencapai Nirwana.

Comments

Popular Posts